Friday, October 3, 2014

Trip to Kawah Ijen 20-21 Sep 2014

Kawah Ijen terletak 42 km dari kota Banyuwangi dan pilihan saya pada weekend yang lalu. Beberapa waktu yang lalu saya pernah mencoba untuk mendaki Kawah Ijen ini namun gagal karena salah timing, yaitu saya mencoba naik dengan start pukul 09.00 dari Paltuding. Setelah itu saya berusaha untuk mencari waktu yang tepat untuk mendaki kawah Ijen ini, namun baru weekend kemaren ini dapat terpenuhi.

Kawah Ijen merupakan salah satu daerah tujuan wisata andalan Jawa Timur.  Tempat wisata ini terletak di perbatasan antara kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso dengan koordinat  8° 3´ 30″ LS dan 114° 14´ 30″ BT.  Kawah Ijen menurut catatan Direktorat Vulkanologi terjadi akibat letusan gunung api Merapi dan Ijen.  Ukuran kawah saat ini 1.160 x 1.160 m pada ketinggian 2.386 m dpl, sedangkan danau kawah berukuran 910 x 600 m pada ketinggian 2.148 m dpl.
Peta Ijen


Jalan menuju kawah Ijen hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 3,2 km dari Pos PHPA Paltuding.  Duapertiga perjalanan ditempuh dengan cukup berat karena cukup menanjak.  Setelah sampai di pos Bunder maka perjalanan tidak terlalu berat karena sudah agak landai medannya.  Perjalanan naik ke kawah bisanya ditempuh 1,5-2 jam.  
Hampir tidak ada persiapan saya dalam memgunjungi obyek wisata yang mulai menggeliat rame ini.
Sabtu pukul 02.00dari Denpasar. Dan tujuan saya sebelum ke Ijen mau muter2 ke Jember dulu.  Sehingga dapat pas sebelum magrib tiba di Paltuding, yaitu base camp area sebelum mendaki ke kawah Ijen.Adapun jadwal pendakian telah ditetapkan diatas jam 00.00 karena apabila dipaksakan mendaki sebelum pukul 00.00 akan resiko kena uap belerang yang dapat membuat nafas menjadi sesak.
Gilimanuk

 Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dalam perjalanan selama di Jember selain hanya cuaca yang sangat panas menyengat. Sehingga yang tadinya saya akan mampir ke Tanjung Papuma , namun karena waktu nya sangat pas pas an akhirnya dari Jember saya putuskan untuk menuju Paltuding.
Lunch ayam goreng di Jember
Dari Jember saya memilih jalan terdekat ke Paltuding yaitu melalui kota Bondowoso. Ditengah teriknya matahari siang itu saya , selepas makan siang di kota Jember saya menuju Bondowoso. Sekitar pukul 15.30 saya memasuki kota Bondowoso. Saya ikuti saja petunjuk dari Garmin 60 CSx yang mengarahkan saya melewati alun2 kota Bondowoso. Namun traffic mulai tersendat  dan akhirnya menjelang tiba di alun2 terdapat road-block dari Kepolisian dan traffic flow diarahkan menuju jalan alternatif untuk keluar kota.

Ditengah saya melihat GPS yang sedang re-routing , tiba2 ada motor mendekati dan menyapa saya. "om Tony mau kemana ? " ternyata itu adalah bro Tiyo yang memang adalah warga Bondowoso. Surprised juga saya, tiba2 ada yang mengenali saya pada sebuah kota yang masih  asing bagi saya.Akhirnya saya dipandu melalui jalan2 tikus untuk keluar kota Bondowoso  yang sore itu macet total karena ada event Fun Bike : Surabaya - Banyuwangi yang melewati Bondowoso. Setelah sempat ber-bincang2 sebentar dengan Tiyo dibatas kota Bondowoso, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Paltuding.

Cerah sekali cuaca sore itu sehingga tidak terasa saya sudah memasuki kawasan perkebunan karet, sengon yang terletak sebelum  Paltuding. Dan malam pun menjemput senja pada posisi sekitar 3 km sebelum Paltuding.
Menjelang malam dekat Paltuding

Sunset di Paltuding
Tepat 5 menit sebelum azan magrib saya tiba di desa Paltuding. Ramai sekali sore itu di Paltuding. Dekat kantor /loket ,masuk Kawah Ijen terdapat sebuah  camping ground yang dipenuhi oleh tenda2 pengunjung yang akan mendaki malam itu. Riuh sekali suasana di tenda2 itu oleh canda tawa para remaja2 yang sedang mengelilingi sebuah api unggun.Dan dari sebuah tenda terdengar lagu Strawberry Fields nya The Beatles. Sejenak ingatan saya melayang ke tahun 1975 dengan kejadian yang sangat mirip sekali yaitu saat saya berada di Cibodas, camping sembari menunggu timing untuk naik ke puncak Gn.Pangrango. Dan itu sudah hampir 40 tahun yang lalu. Sungguh sebuah dejavu.

Setelah puas menikmati riuhnya suasana di camping ground, saya mencari sebuah warung untuk sekedar mengisi perut dan mencoba untuk mengechek email2 yang masuk. Namun , sial sekali tidak terdapat satupun signal HP yang berfungsi. Serasa berada dalam dunia lain saja, rasa nya. Untuk obyek wisata yang sudah mendunia karena blue fire nya seperti Kawah Ijen ini.sarana komunikasi seperti sinyal HP yang memadai harusnya bukan lagi masalah. Perlu perhatian yang lebih serius dari pihak pemerintah, apabila obyek wisata Kawah Ijen ini ingin lebih dicintai dunia.

Dan setelah ber-tanya2 dengan ibu warung, saya dapat informasi, bahwa ada sinyal Telkomsel, namun harus masuk sedikit ke tengah semak2 diarea pendakian arah ke Kawah Ijen. Apa boleh buat, selain untuk mengecheck email saya juga perlu untuk menelpon ke rumah. Gelap sekali , jalan setapak menanjak saya selusuri dan akhirnya setelah berjalan sekitar 30 menit saya menemukan signal Telkomsel.

Setelah menelpon kerumah, dan mengecheck email2 yang masuk, saya turun dengan setengah berlari ke base camp dibawah. Setiba di base camp, suasana semakin ramai karena mulai berdatangan  wisatawan domestik serta mancanegara dan juga para backpacker yang sudah tidak sabar untuk menyaksikan keindahan blue fire yang berada dibibir kawah Ijen. Sempat saya bertanya keibu warung tentang tarif pemandu wisata yang dapat mengantar hingga pucak Kawah Ijen dan saya dapatkan keterangan bahwa tarifnya adalah Rp.150.000. Wah lumayan mahal juga, walau setelah saya coba tawar, turun menjadi Rp.100.000. Saya coba hidupkan GPS Garmin saya, dengan maksud sekedar membuat waypoint menuju puncak Kawah Ijen. Ternyata,  single track menuju puncak nya sudah terdapat dalam preloaded map nya Garmin. Alhamdulillah, ngirit ongkos bayar guide cepek ceng.

Tidak kurang sekitar 50an turis dari mancanegara yang di dominasi oleh turis2 Belanda, Perancis dan Jerman tengah ngeriung di warung2 yang ada disekitar base camp sembari menanti saat yang tepat untuk memulai pendakian.

Mulai pukul 24.00, pintu pendakian ke Kawah Ijen telah dibuka oleh petugas, dan para wisatawan pun secara bergantian mulai berjalan mendaki ke arah Kawah Ijen. Setelah mempersiapkan barang2 yang akan saya bawa dan logistik beupa biskuit dan beberapa botol Aqua ukuran kecil kedalam ransel, maka tepat pukul 02.00 dini hari saya putus kan untuk mulai mendaki.

Ready to climb

Pada awal pendakian, kemiringan trek nya belum begitu terasa terjal.Perlahan tapi pasti saya ayunkan langkah  dan setelah berjalan sekitar 600 meter betis dan paha mulai terasa keras. Maklum, sudah hampir 40 tahun sudah tidak terlatih lagi untuk mendaki gunung. Ini juga saya mendaki, tanpa persiapan fisik sama sekali, bahkan stretching pun tidak saya lakukan sebelum memulai pendakian. Ditambah lagi dengan penyakit thyroid yang sudah 5 tahun lebih menggerogoti saya membuat pendakian malam itu mulai berat. Tapi semangat saya yang extravaganza jualah yang mampu menggerakkan langkah demi langkah kaki saya menuju puncak Kawah Ijen.

Sesekali saya berhenti untuk mengumpulkan nafas dan minum aqua yang saya bawa di ransel. Memang, malam itu cukup ramai orang2 yang mendaki ke kawah Ijen. Sehingga walau saya berangkat sendiri. tidak terasa sepi. Setiba di km 1.45, mendadak angin kencang sekali menyapu jalan setapak yang kami jalani,seraya menerbangkan debu dan pasir, sehingga tiba-tiba saya merasa "buta" karena mata yang terkena badai - pasir. Saya dan beberapa pendaki yang lain langsung mengambil posisi berlindung di cekungan lereng tebing, guna menghindari dari badai pasir dan patahan ranting2 yang relatif besar yang dapat menghantam wajah/kepala kita.

Langkah demi langkah saya ayunkan dan trek pun semakin terjal hingga mencapai Pondok Bunder. Badai pasir kencang yang datang berulang, kali memaksa saya dan beberapa pendaki lain nya untuk berlindung di sisi tebing. Dengan susah payah, saya tiba di Pondok Bunder, yang merupakan check point terakhir menjelang pucak Kawah Ijen. Di warung ini sudah penuh sesak oleh para pendaki yang tengah berlindung dari terpaan badai pasir.

Melihat jarun jam yang terasa berputar cepat, dan tanpa saya sadari sudah menunjukkan pukul 03.30.Saya putuskan untuk meninggalkan Pondok Bunder dan ditengah kencang nya angin yang membawa pasir, saya confident melangkah menuju puncak Kawah Ijen, demi melihat blue fire itu.

Sekitar pukul 04.15 saya sudah tiba dibibir kawah Ijen dan dari kejauhan terlihat blue fire yang sudah menyihir perhatian dunia, karena merupakan fenomena langka.Saya coba mengambil foto nya, namun berhubung camera saya tidak dilengkapi zoom yang memadai, maka hasil foto nya kurang bagus dibandingkan pandangan mata saya saat itu. Saya coba juga untuk mencari referensi foto2 blue fire itu hasil dari camera yang lebih canggih hasil reportase dari mancanegara, dan hasil nya sungguh menakjubkan.
Blue fire dari kejauhan

Lebih jelas lagi blue fire nya
Courtesy of Olivier Grunewald
Sesaat saya terpana melihat keindaan alam ini, dan tanpa terasa, fajarpun mulai menyingsing. Ceria sekali suasana dipuncak Kawah Ijen  pagi hari itu. Para pengunjung seakan berebutan untuk mencari lokasi terbaik guna berfoto bersama , maupun sekedar selfie.

Puas menikmati keindahan Kawah Ijen, segera saya melangkah turun untuk segera kembali ke base camp. Dalam perjalanan turun tampak tegak dengan megahnya Gn.Meranti disela-sela jalan setapak.
Jalan setapak turun
Gn.Meranti
Tidak lama berjalan menuruni jalan setapak, saya tiba kembali di check point Warung Bundar, yang pagi itu penuh sesak oleh para pengunjung yang baru turun untuk sarapan.
Relaxing di Pondok Bunder
Coffee time
Wajah ceria dan menyantap pop mie
Souvenir khas  Kawah Ijen di Pondok Bunder
Ketika turun dari Pondok Bunder, saya sering berpapasan dengan pengunjung yang baru saja mulai mendaki. Tidak kurang, ada sekitar 15 orang lansia dari mancanegara, masih gagah melangkah naik,walau sudah ditopang dengan tongkat. Rupanya memang blue fire Kawah Ijen sudah menyihir dunia. Tidak begitu lama saya sudah tiba kembali di base camp Paltuding. Setelah memasukkan barang/ ransel ke panniers, segera saya tinggalkan Paltuding.

Jalan berliku menurun menuju Banyuwangi sangatlah menyenangkan pada pagi hari itu. Setiba di Banyuwangi saya sempatkan sarapan soto ketupat kikil nya yang nikmat. Dari Banyuwangi saya langsung menuju Ketapang untuk langsung menyeberang ke Gilimanuk.

Sekitar pukul 15.00 WITA, hari Minggu tanggal 21 September 2014  saya tiba kembali di Denpasar. Sungguh sebuah trip singkat yang sangat berkesan. See U next trip guys...

Tuesday, September 2, 2014

Trip to Paradise 30 August 2014


Sejak beberapa minggu ini , dikarenakan kesibukan kantor agak berkurang. maka setiap hari Sabtu,karyawan diliburkan. Setelah sekitar seminggu lebih saya pelajari, akhirnya saya menemukan destinasi yang pas untuk saya jalani dengan format berangkat Sabtu dinihari dan pulang malamnya. Destinasi itu adalah Teluk Hijau atau kerap disebut juga dengan Green Bay yang terletak didalam Taman Nasional Meru Betiri dengan jarak sekitar 90 km dari Banyuwangi dan pantai Pulau Merah dengan jarak 78 km dari Banyuwangi.
Peta lokasi
Dengan perhitungan jarak pulang-pergi yang tidak sampai 500 km serta  mengingat ketersediaan bensin masih agak langka, maka sebelum berangkat saya isi full tank dengan perhitungan untuk jumlah 23 liter yang ada dalam tangki bensin, saya mampu untuk jalan sejauh 700 km.

Hari Sabtu tanggal 30 Agustus 2014 pukul 02.30 dinihari saya berangkat dari Denpasar. Perjalanan lancar dan dalam waktu 2,5 jam saya sudah tiba di Gilimanuk untuk menyeberang,Hanya sayang ferry masih ngetem sekitar 40 menit sebelum berlayar ke Ketapang. Tiba di Ketapang, matahari sudah mulai malu2 menampakkan sinarnya. GPS saya set dengan tujuan Taman Nasional Meru Betiri terlebih dahulu.Satu demi satu kota2 kecil saya lewati sejak dari Banyuwangi yaitu Rogojampi.Benculuk dan Jajag.

Perkebunan Sungai Lembu
Dari Jajag menuju desa Pasanggaran sejauh 20 km jalan mulai mengecil dan melewati PTP Nusantara XII - Sungai Lembu.Perkebunan ini terdiri dari perkebunan karet dan kakao(coklat).Jalan sepanjang perkebunan sangat mulus dan dengan ciri2 khas nya sepanjang perkebunan ini, kiri-kanan jalan dihiasi oleh tanaman yang dauhnya merah yang biasa disebut dengan bunga Tanjung atau di Jakarta juga disebut dengan kembang Andong.
Jalan perkebunan yang rapi

Selepas Perkebunan Sungai Lembu jalan mulai berubah menjadi jalan offroad dengan jenis batu2 lepas dan batu2 kasar yang sudah diratakan. Walau tidak terlalu parah, hanya saja sangat mengurangi laju Scorpy .Jalan perkebunan kemudian melewati kebun kakao (coklat).
Kebun kakao (coklat)
Buah coklat
Perjalanan saya lanjutkan dengan kondisi offroad terus.Sesekali terdengan dentingan batu yang menghantam bagian bawah motor. Walaupun Scorpy belum dilengkapi dengan skid-plate ( deck oil pan/knalpot) namun ground clearance nya cukup tinggi dan aman kok.Jadi saya cuekin saja harmonisasi dentingan batu2 tersebut. Tidak lama kemudian saya tiba didesa Kandangan yang terdapat jalan cagak. Informasi yang saya dapatkan, bila jalan terus akan mengikuti jalan perkebunan Sumber Jambe yang tidak terdapat pemukiman warga tapi lebih dekat dan bila ambil jalan kekiri akan melewati pemukiman warga desa Kandangan. Kedua jalan ini akan bermuara di desa Sarongan, tepatnya pada terminal bis.


Tentunya saya pilih yang jalan terus, tanpa melewati pemukiman warga, agar lebih terasa suasana adventure nya. Orang Ukraina bilang : leuwih ngeunah... :) Setelah saya ikuti jalan lurus yang full-offroad serta sepi dan melewati beberapa jembatan gorong2 kecil, saya tiba di sebuah T junction.
Papan petunjuk - cukup informatif
Tidak lama saya melewati desa Sarongan yang mulai panas siang itu. Dari Sarongan sekitar 3 km saya memasuki desa Rajegwesi, Dari sini ada dua alternatif untuk mencapai Green Bay, bisa dengan menyewa perahu nelayan dengan biaya Rp,50 ribu pp dan jalan 2 km lagi ketempat penitipan motor,kemudian hiking ke Green Bay. Mengingat kondisi fisik saya yang tidak 100% prima saat itu karena penyakit thyroid saya lagi ngambek,maka  saya mencoba menghubungi nelayan yang perahunya sedang diparkir. Menurut keterangan mereka sudah hampir seminggu tidak melaut karena ombak sedang tinggi, dan otomatis pilihan pertama saya itu gagal dan harus memilih pilihan hiking. Apa boleh buat, sudah jauh2 datang dari Denpasar toh. The show must go on...

Sepi di pantai Sungapan
Sebelum lanjut ke tempat penitipan motor didepan pintu masuk ke Green Bay, saya melewati pantai Sungapan yang cukup bersih namun nihil fasilitas berupa warung atau apapun juga.
Pantai Sungapan
Cukup indah pantai Sungapan ini
Melihat kondisi pantai Sungapan ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata yang menarik sehingga akan lebih banyak lagi wisatawan yang datang ke Taman Nasiona Meru Bentiri ini. Tentunya dengan tanpa mengenyampingkan perbaikan sarana jalan akses menuju kemari.
Terkesan tanpa perawatan
Ketika saya hendak beranjak dari pantai ini ketemu 2 orang berboncengan menaiki Honda Beat . Setelah berbincang ternyata mereka dari Madiun dan sudah sempat camping semalam di Sukamade, yang terletak 11 km lagi dari Green Bay. Hanya sebentar kami berbincang dan saya lanjut jalan.Tidak jauh dari pantai ini saya tiba di gerbang Taman Nasional Meru Betiri.
Gerbang TN Meru Betiri
 Setelah membayar tiket masuk untuk motor Rp.5.000 ditambah tiket masuk orang Rp.5.000, saya pun tidak sabar untuk segera tiba di Green Bay.
Tiket masuk
Didekat gerbang masuk Taman Nasional ini terpampang sebuah slogan Go Green yang disampaikan dengan cara yang cukup kreatif.
Aturan pengunjung

Sodaqoh oxygen
Direction board

Loket tiket
Sekitar 2 km dari pos masuk ini, saya tiba di lokasi penitipan mobil dan motor untuk pengunjung yang akan ke Green Bay.
Penitipan motor
Setelah memarkir motor, saya muat perbekalan logistic yang telah saya siapkan berupa air mineral dan roti kedalam ransel. guna menjaga stamina hiking ke Green Bay. Walau hanya berjarak 1 km tapi sangat terjal dan nyaris 45 derajat kemiringannya. Bila pergi ke Green Bay didominasi dengan jalan menurun yang tentu pulangnya adalah kebalikan. Dari pintu masuk sampai ke Pantai Batu diperlukan waktu antara 15-30 menit bila cepat. Dan dari Pantai Batu (Stone beach) ke ke Green bay kita harus menjalani jalan setapak yanng cukup adem sepanjang 300 meter.
Pintu masuk ke Green Bay

Jalan setapak dipenuhi belukar
Untuk mencapai Green Bay memang tidak mudah, karena diperlukan perjuangan yang berat serta  menantang adrenalin.Namun tentunya segala upaya jerih payah kita tidak akan terasa sia2 setelah tiba di TKP.
Tantangan pertama
Baru saja saya masuk , sudah membentang tantangan pertama berupa anak tangga yang curam. Lepas ini saya disuguhkan singletrack yang curam menurun. Saking curam nya , demi keamanan bila musim hujan tiba, pihak pengelola Taman Nasional menyediakan tali ditebing2 nya guna berpegangan apa bila turun, agar tidak tergelincir.

Tali pengaman
Disela2 belukar, saya melihat keindahan Green Bay dengan top-view mode. Sungguh indahnya ciptaanNya.

Sebagian dari keindahan TN Meru Betiri
Tidak lama kemudian saya masuk kesebuah pantai yang berbatu yang disebut juga Pantai Batu atau disebut juga Stone Shore, Konon batu2 itu berasal dari tsunami pada tahun 1994 yang menggulung pantai ini.
Pantai Batu

Walau hanya berjarak kurang lebih 1 km untuk mencapai pantai ini, namun cukup melelahkan karena medan yang terjal. Untungnya siang itu banyak pengunjung yang datang. antara lain rombongan outing dari sebuah kantor dari Surabaya, sehingga tidak begitu terasa capek nya sambil ngobrol dijalan. Sekitar 300 meter dari pantai ini, tibalah saya pada sebuah pantai yang sangat indah serta masih asri. Green Bay, here I come...

Wild side of Green Bay




Tebing terjal 

Pasir putih yang halus
Sebagian keindahan Green Bay
Setelah puas berfoto maka saya segera bersiap untuk kembali. Langsung terbayang tanjakan terjal  yang akan menghadang sebagai kebalikan jalan setapak yang menurun curam saat pergi tadi. Berhubung rombongan saat pergi tadi masih asyik berenang dipantai , maka saya pulang sendirian saja. Dalam perjalanan pulang saya melewati sebuah kolam kecil yang sangat asri dan damai.
Damai dan asri


Dengan susah payah akhirnya saya tiba ditempat penitipan motor. Lega rasanya ssudah berhasil menaklukkan medan yang terjal itu. Setelah merapikan barang kembali, Scorpy langsung saya gas, untuk mencari tempat makan terdekat.
Objek gua Jepang-dekat parkiran motor

Di desa Sarongan saya mampir kesebuah warung yang cukup bersih. Ternyata makan disitu sistem prasmanan. Dan makanan yang dihidangkan cukup ber variasi, mulai dari nasi pecel, ayam serundeng , sup dll. Tidak heran bila siang itu warung ini dipenuhi oleh rombongan turis Jepang dan para guide nya yang on the way ke Sukamade, untuk menyaksikan penyu bertelur. Ya, Sukamade, yang berjarak 11 km lagi dari Green Bay memang adalah tujuan para turis, karena ada fasilitas penangkaran penyu disitu. Namun jalan menuju Sukamade cukup jelek dan juga harus menyeberangi sungai selebar 75 meter. Pada saat musim kering seperti sekarang ini, tinggi air sungai berkisar 30-40 cm. namun bila musim hujan dapat mencapai 1 meter. Sehingga mobil2 yang 4 WD saja yang direkomendasikan bila hendak ke Sukamade.
Lunch time

Selesai menyantap makan siang di warung itu saya sempat meluangkan waktu untuk berbincang sejenak dengan teman2 rombongan dari Surabaya. Mereka menanyakan tujuan saya selanjutnya. Dan setelah saya sebutkan : Pulau Merah, mereka bilang sampai jumpa disana pak.

Matahari semakin condong seiring dengan melajunya saya ke arah Pulau Merah. Sekitar 2 km sebelum lokasi ada perbaikan jembatan , yang mengharuskan saya masuk ke kebun pisang warga setempat guna motong jalan. Sekitar pukul 16.15 saya tiba di lokasi pantai Pulau Merah.

Merapat di Pulau Merah
Pantai Pulau Merah ini terletak 78 km dari Banyuwangi dan mempunyai ciri khusus yaitu ada sebuah pulau berbentuk bukit pas diseberang pantai ini dan konon dulunya berwarna merah. Secara umum Pulau Merah ini mirip dengan suasana di Kuta, Bali . Hanya saja tidak seramai Kuta, tapi sarana jajanan cukup lengkap. Tapi sayang nya sore itu saya tidak berhasil mendapatkan sunset, karena tertutup awan.
The shy sunset

Pulau Merah

Nice beach

Karena melihat kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk melihat sunset , maka segera saya pacu Scorpy ke arah Ketapang. Tiba di Benculuk, hari mulai gelap dan karena lapar sudah tidak tertahankan, saya berhenti untuk makan malam pada sebuah rumah makan yang menjual ayam goreng.


Setelah beristirahat seusai makan , saya lanjutkan perjalanan. Memasuki kota Srono ,saya tertahan oleh pawai dan gerak jalan dlam rangka peringatan HUT RI ke 69 yang diselenggarakan oleh Kabupaten Banyuwangi. Saya kira hanya pendek saja pawai nya. Ternyata panjang sekali sampai ke Banyuwangi. Pas lah dengan tema gerak jalan 45 km. Cukup melelahkan mengalami macetdengan stop n go riding sepanjang 45 km.

Tidak kurang 2 jam saya lewatkan dengan bermacet ria, penuh hiruk pikuk sorak. lagu2 house music yang diputar dari kendaraan pawai yang menambah kelelahan. Tiba di Ketapang, sudah pukul 22.00 dan langsung saya masuk ke ferry.

Penyeberangan sangat lancar, pukul 24.00 saya mendarat di Gilimanuk dan langsung memacu Scorpy ke Denpasar. Rasa kantuk berat mulai menggelayuti, karena praktis saya sudah jalan hampir 24 jam. Beruntung , lepas Negara, tiba2 ada motor yang memberi klakson. Ternyata mekanik saya sdr Puguh, baru pulang dari Banyuwangi. Saya pun menambah kecepatan dan ditempel rapat oleh  sdr.Puguh dengan New Jupiter MX nya.

Tidak terasa pukul 02,30 saya tiba dikediaman, tidak kurang suatu apapun. Hanya bayang2 pantai indah uyang tersisa. CU Banyuwangi ...