Friday, January 17, 2014

Eastbound Trip 13-17 Agustus 2013


Trip ke wilayah Timur adalah alternate trip ke Sumatera yang batal karena tidak cukupnya  waktu cuti lebaran dari kantor. Pilihan kedua, saya akan menjelajahi pulau Sumba , namun lagi2 terkendala waktu, disebabkan frekwensi pelayaran ferry dari Sape/Sumbawa ke Waikelo/Sumba hanya 2x seminggu yaitu tiap Jum'at malam dan Selasa malam. Akhirnya setelah saya mengumpulkan data-data obyek yang ada di pulau Sumbawa, saya fokus kan destinasi di seputaran pulau Sumbawa ,yaitu ke pulau Satonda, sebuah pulau kecil yang ditengahnya terdapat danau dengan air yang asin .kaki Gn.Tambora dan pantai Lakey yang sangat terkenal bagi para top surfer dunia dikarenakan ombaknya yang sangat bagus dan Lombok bagian timur.
Bersiap untuk start
Itenerary pun sudah saya siapkan dan rencana keberangkatan ke Sumbawa adalah pada hari yang sama setiba saya dari Jakarta.

Selasa tanggal 13 Agustus 2013 siang pesawat tinggal landas pukul 13.30 dari bandara Sooekarno-Hatta..Sejak pesawat tinggal landas,pikiran saya sudah berada diatas Scorpy yang akan membawa saya menjelajah pulau Lombok dan Sumbawa.Sudah terbayang di pelupuk mata bagaimana indahnya savana di Sumbawa yang tidak terdapat di tempat lain di Indonesia kecuali di pulau Sumba, juga terbayang deburan ombak di pantai Lakey serta damai nya desa Sembalun Lawang di Lombok.Tanpa sadar sayapun  tertidur lelap .

Saya  terbangun sesaat pesawat touchdown di bandara Ngurah Rai dan saat saya lihat jam tangan saya menunjukkan pukul 16.10 WITA.

Dengan dijemput staff dari kantor, yang sudah standby dengan motornya sejak pukul 16.00 saya pun bergegas menuju kediaman.Sore itu cuaca sangat cerah di Denpasar dengan suhu berkisar 25 C. Sebelum tiba di kediaman saya sempatkan untuk membeli kartu simpati untuk BB yang mingguan, karena di Sumbawa hanya sinyal Telkomsel yang dapat diandalkan.

Setiba dikediaman, saya sempat beristirahat , mandi dan mempersiapkan perlengkapan yang akan saya bawa.Setelah mengepak barang dan memasang sidebox di Scorpy, maka pada pukul 22.30 Scorpy sudah bersiap dilandasan pacu untuk segera take-off ke Sumbawa.
Sesaat sebelum start



Tepat pukul 22.45 saya gas Scorpy yang sudah kondisi pol teng (full-tank) melesat menuju pelabuhan Padang Bai dengan melewati daerah Renon dan by pass yang sudah mulai lengang pada malam itu.Lancar sekali perjalanan menuju Padang Bai dan tidak terasa pada pukul 23.30 saya sudah tiba di loket penyeberangan ASDP dan membayar tiket seharga Rp,112.000.Ini berarti ada kenaikan sejak berlakunya tarif BBM yang baru dimana tarif penyeberangan yang lama adalah Rp.101.000 , dengan kata lain ada kenaikan Rp.11.000.
Usai membayar tiket penyeberangan saya mulai mengantri untuk memasuki kapal ferry. Lumayan meriah antrean malam itu. Dalam barisan antrean saya sempat ketemu seorang biker yang mengendarai Yamaha Byson yang akan menuju ke Bima. Kami sempat berbincang dan ternyata dia selain akan bersilaturahmi dengan komunitas Yamaha Byson di Bima dia juga akan mengunjungi kerabatnya di kota Dompu. Antrean arus balik lebaran sangat terasa malam itu, ditandai dengan panjangnya barisan motor dan mobil yang akan menyeberang.
Antrean di Padang Bai
Setelah mengantri sekitar 40 menit, sayapun memasuki lambung ferry. Padat dan sesak suasana didalam ferry. Kira2 sejam kemudian ,ferry mulai berlayar dan didalam ferry terlihat kesibukan para penumpang untuk mengatur posisi, supaya dapat tidur dalam pelayaran yang akan memakan waktu 4-5 jam itu. Saya juga berusaha untuk sebisanya tidur guna menyimpan tenaga.
Pukul 05.45 ferry merapat di pelabuhan Lembar  / Lombok.Scorpy langsung saya gas kearah timur Lombok,yaitu pelabuhan Kayangan, dengan jarak 93 km. Dalam perjalanan perut mulai terasa lapar.Sambil melihat kiri/kanan jalan ,maka sekitar pukul 07.40 saya menepi dan berhenti pada sebuah warung di desa Kopang/Lombok Tengah untuk mengisi perut alias sarapan. Nasi bungkus isi daging sapi adalah pilihan saya pagi itu.Dengan harga Rp.8.000 sudah termasuk teh manis ,pas betul rasanya di perut.
Sarapan di Kopang
Selesai sarapan, tanpa membuang waktu, langsung saya tancap gas ke Pelabuhan Kayangan dengan sisa jarak sekitar 45 km lagi.Pada pukul 08.30 saya sudah mendekati pelabuhan Kayangan dan menepi sejenak.
Menuju pelabuhan Kayangan

Dekat pelabuhan Kayangan



Diatas ferry 
Setelah tiba di pelabuhan Kayangan saya langsung membayar tiket penyeberangan sebesar Rp.53.000 yang berarti ada kenaikan tarif sebesar Rp,3.000 dari tarif lama. Suasana di ferry ke Poto Tano ini sangat luar biasa padatnya dengan masih terlihatnya suasana arus balik lebaran.
Ferry ke Poto Tano

Pada pukul 11.45, ditengah cuaca yang terik ,ferry merapat di pelabuhan Poto Tano dan segera perjalanan saya lanjutkan ke desa Banggo tempat saya akan overnight pada hari Rabu malam ini.Adapun jarak dari Poto Tano ke desa Banggo adalah 264  km, dan saya perkirakan ada tiba sekitar pukul 20.00 malam ini.
Merapat di pelabuhan Poto Tano
Sekitar pukul  12.30 saya tiba di desa Alas yang berjarak 23 km dari Poto Tano  dan mencari rumah makan untuk mengisi perut.Ternyata saya kurang beruntung karena semua rumah makan tutup dalam rangka masih merayakan Lebaran. Akhirnya ketemu warung tenda yang menjual nasi campur.Lumayan sekedar menawar lapar disiang bolong itu.
Nasi campur di desa Alas
Selesai makan, perjalanan saya lanjutkan dengan kecepatan yang relatif rendah, karena masih kekenyangan. Ada tiga jembatan rusak yang dalam perbaikan namun tidak sampai menimbulkan kemacetan Sekitar sejam perjalanan kemudian saya tiba di Kencana beach yang siang itu dipadati oleh warga yang masih merayakan Lebaran. Saya berhenti sejenak untuk melumasi kerongkongan yang kering kerontang dengan es kelapa muda.
Rest area di Kencana beach

Lepas menikmati es kelapa muda perjalanan saya lanjutkan menuju kota berikut yaitu Sumbawa Besar
Masuk kota Sumbawa Besar
Sumbawa Besar
Pukul 15.00 saya memasuki kota Sumbawa Besar dan langsung lanjut ke arah Banggo , supaya tidak kemalaman dan punya waktu istirahat yang cukup untuk menjalani rute keesokan hari.
Dekat Maronge
Masuk desa Maronge
Menjelang magrib saya memasuki desa Maronge dan suasana jalanan berangsur sepi.Sejenak saya berhenti untuk short break dan segera melanjutkan perjalanan.
Desa Marongge
Lepas desa Maronge, mulai gelap dan binatang malam pun mulai beterbangan dan bila visor helm tidak tertutup rapat, dapat membahayakan mata. Perjalanan saya lanjutkan terus dalam gelapnya malam,satu persatu kota2 kecil saya lewati yaitu Plampang dan Empang.Setelah lewat Empang jalanan mulai twisty dengan kondisi hotmix yang sangat mulus hingga kota Kwangko dan Napa.Tidak sabar untuk segera beristirahat, Scorpy saya pacu semakin kencang dalam melibas jalan berliku sepanjang 46 km itu. Nikmat sekali melibas jalan berliku yang sangat sepi pada malam itu, Tidak lebih dari 5 x saja saya berpapasan dengan mobil dan 3x dengan motor sepanjang 46 km itu. Sungguh sensasi yang berbeda...
Pukul 20.00 saya tiba di kota Banggo dan langsung menuju RM Bundo Kanduang langganan, guna mengisi perut yang sudah terasa lapar sekali. Selesai makan saya mencari informasi tempat penginapan di Banggo dan diberikan informasi yang lengkap oleh pemilik RM Bundo Kanduang.
Ayam gulai di RM Bundo Kanduang

Setelah membeli cemilan dan roti untuk sarapan besok saya langsung menuju penginapan Fadillah,dengan koordinat S8 31.036 E118 19.193  dan  berjarak hanya 1 km dari RM Bundo Kanduang. Saya langsung disambut ownernya pak Lukman dan menawarkan dua macam type kamar yaitu non AC Rp.100.000 dan dengan AC dan TV parabola Rp.150.000.Setelah memeriksa kondisi kamar, akhirnya putuskan untuk mengambil kamar yang dilengkapi AC.
Penginapan Fadillah
Lumayan untuk istirahat
Setelah mandi dan sholat Isya, saya langsung merebahkan badan guna mendapatkan recovery tenaga yang cukup untuk perjalanan keesokan hari nya.
Kamis pagi,tanggal 15 Agustus 2013 pukul 05.00 saya terbangun oleh suara azan dari mesjid dekat penginapan.Segera saya bersiap dan sarapan roti yang saya beli tadi malam. Tepat pukul 07.15 saya start dari penginapan dan langsung mengisi bensin full di pom bensin Manggalewe sekitar 2 km dari Banggo, dan setelah mengecheck tekanan angin ban,  langsung Scorpy saya pacu dengan tujuan desa Nangamiro tempat penyeberangan ke pulau Satonda, yang berjarak 100 km  diutara  Banggo.

Pada km 40 dengan koordinat S8 26.834 E118 03.101 atau posisi sekitar desa Hodo, saya dihadapkan oleh view yang sangat indah sekali.Dikiri kanan jalan dihiasi oleh savanna dan dikiri membentang lautan lepas serta dikanan jalan menjulang megah gunung Tambora yang letusan nya pada tahun 1815 sangat dahsyat itu.
Kuda liar tengah merumput
Background Gn.Tambora   

Hot and straight
Only in Sumbawa

Kaki Gn.Tambora
Savanna dan laut lepas
What a feeling

Just me and my bike
Setelah puas menikmati keindahan savanna di desa Hodo, yang sangat langka di Indonesia, perjalanan saya lanjutkan menuju kota Calabai.Terdapat beberapa ruas jalan yang rusak dengan kondisi belum di aspal, sebelum desa Doro Peti ,kira2 sepanjang 15 km. Dengan menggunakan ban Swallow SB 117 dengan profil kasar, rasanya tidak menjadi masalah dalam melibas trek yang kasar itu.
Jalan belum di aspal menjelang Doro Peti
Mencari rumah makan di daerah ini merupakan sebuah problem tersendiri, karena sepanjang jalan dari Banggo belum juga terlihat satu pun rumah makan. Matahari semakin terik dan setelah melewati desa Doro Peti dan kota Calabai saya tiba di desa Karombo.Beruntung ada rumah makan yang menjual mie ayam di desa ini. Walau tidak ada nasi, mie ayam pun sudah cukup sebagai pengganti makan siang.
Mie ayam di desa Karombo
Selesai menyantap mie ayam, saya sempat berbincang dengan pemilik warung.Menanyakan kondisi penyeberangan ke pulau Satonda yang hanya berjarak 5 km dari Karombo. Berbagai masukan yang saya dapatkan dari mbak pemilik warung yang ternyata juga wakil kepala sekolah sebuah SMU Negeri disitu yang mengajar pelajaran matematika. Suaminya  berjual beli jambu mete yang dikumpulkan dari petani disana dengan harga sekitar Rp.9,000 - Rp.10,000/kg dan dikirim ke kota2 besar dipulau Jawa dengan harga jual Rp.90.000/kg.It's the hell lots of money. Untuk mutu pendidikan di desa itu sungguh sangat memprihatinkan, karena masih ada anak kelas 3 SMP setempat yang belum bisa baca disitu. Untuk angka kelulusan SMU ,menurut si mbak ,selalu 100% karena memang diatur agar lapan anam / 86, semua lulus oleh pihak sekolah. Tentunya dengan jalan memberikan "uang rokok" kepada pengawas propinsi dari Mataram.Sedangkan nilai tertinggi dari hasil tes matematika pada setiap UAS adalah hanya 2,7 dari nilai maksimal 10.Sungguh memprihatinkan dan tentunya ini merupakan PR serius untuk instansi terkait misalnya Depdikbud.

Tak lama kemudian saya pamitan untuk melanjutkan perjalanan ke desa Nangamiro dengan koordinat S8 10.851 E117 43.286, yaitu tempat penyeberangan ke pulau Satonda. Setiba di TKP saya disambut oleh beberapa orang yang menawarkan jasa penyeberangan. Tarip nya pun beragam, berdasarkan besar-kecil nya perahu yang ditawarkan. Mungkin karena masih suasana lebaran, taripnya pun kena "tarip lebaran" yaitu paling murah Rp,150.000/ pp untuk waktu penyeberangan yang hanya 40 menit/trip. Wah, kalo begini, nehi ajalah, kemahalan, bisa cepat koyak dompet saya. Akhirnya,berdasarkan info si mbak pemilik warung mie ayam, saya coba lagi untuk menyeberang dari desa Labuhan Kenanga dengan koordinat S8 09.419 E117 44.367, yang berjarak 5,3 km dari Nangamiro. Rupanya saya memang belum beruntung, karena siang itu hanya satu perahu yang ready dengan tarip gak goyang dari Rp.150 rebu.Memang belum nasib.dan untuk menghibur diri saya coba menjelajah ke timur, tujuan nya ke desa Kawindatoi, sekedar menambah referensi pengetahuan tentang perkampungan nelayan disana.Lagi-lagi langkah saya terhambat dengan kondisi jembatan yang mustahil untuk dilalui ,dan warga setempat menyambung perjalanan ke desa itu dengan sampan.
Jembatan rusak berat
Saya lihat jam sudah hampir jam 14.00, oke deh saya skip ada dulu destinasi pulau Satonda dan fokus ke destinasi berikut  untuk menjajal trek ke kaki Gn.Tambora. Dari berbagai informasi yang saya rangkum dari berbagai warung akhirnya saya putuskan untuk segera menuju ke lokasi ; desa Doro Ncangu, yang terletak sebelum desa Doro Peti, kalo dari arah Banggo, rupanya sudah terlewatkan saat lewat perginya. Karena patokan masuknya hanya sebuah gubuk rusak dan dibelakangnya ada WC umum yang rusak, Warga setempat tidak menyarankan saya untuk mencoba trek sendiri, karena sangat beresiko tinggi untuk nyasar, karena patokan trek/jalan nya samar2 di padang savana.

Semakin dibilang beresiko tinggi ,makin tertantang adrenalin saya untuk mencobanya sendiri, tanpa didampingi pemandu alias guide. Segera saya pacu Scorpy turun kearah Banggo sembari melihat patokan2 yang disebutkan warga.Seharusnya saya mendaftarkan diri  di desa Doro Peti untuk didampingi guide, tapi gak usah lah, masak sudah 30 tahun lebih menekuni navigasi pada reli mobil , masih bisa nyasar aja? begitu yang ada dalam benak saya. Sekitar sejam perjalanan, akhirnya ketemu patokan itu yang ternyata berjarak 48 km dari desa Labuhan Kenanga, diatas.

Setibanya dititik pintu masuk jalur selatan Gn.Tambora dengan koordinat S8 25.528 E117 57.287, saya coba zoom GPS dan woow..trekking line ke kaki Tambora tergambar jelas di GPS hingga Pos 2 dengan koordinat S8 20.089 E117 58.705, yang dapat dijalani oleh kendaraan roda 4 yang 4WD atau motor sejenis trail hingga Pos 3 sejauh 17 km dari pintu masuk. Segera saya activate mode "waypoint" di GPS untuk recording trek setapak yang akan saya lewati, sehingga terhindar dari resiko nyasar.Hebatnya, waypoint yang saya create (warna ungu di foto) sangat cocok dengan preloaded line yang ada pada GPS (garis putus2 dengan keterangan :Tambora  South Trek).
Titik masuk ke jalur pendakian Tambora

Tampilan Navitel maps di GPS
Makin mantap perasaan saya untuk menjajal trek pendakian, karena didukung informasi yang sangat akurat di GPS. Kamsiah untuk Navitel Maps yang serba sangat lengkap itu. Untuk jalur lautan pasir di Bromo juga tergambar jelas dan lengkap di Navitel Maps.Personally,saya masih lebih pede dengan Navitel maps ketimbang Garmin maps :).

Jalur pendakian ini sepintas mudah, karena "hanya" padang rumput biasa.Namun setelah saya coba untuk buka gas, ternyata tidak semudah yang saya perkirakan. Dibalik rerumputan itu tersembunyi batu vulkanik sebesar bola baseball,bekas letusan Gn.Tambora pada tahun 1815 yang lalu. Beberapa kali Scorpy nyaris "tersandung" batu vulkanik dan akhirnya saya menemukan ritme riding nya. Eaa asyik sekalee dan terasa banget aura adventure nya.Makin jauh dan sinyal Telkomsel (satu2nya sinyal GSM yang ada di daerah Tambora) mulai hilang.Hari juga semakin senja, dan sebelum tiba di Pos 2 , saya putuskan untuk kembali turun dengan perhitungan saya harus tiba di Dompu sebelum magrib, Karena besok pagi nya saya harus jalan menuju selatan Dompu ke desa Hu'u (sama nama desa ini dengan nama cafe terkenal di Seminyak-Bali) untuk menikmati pantai Lakey.Bottom-line nya ,jalur pendakian selatan Tambora sudah puas saya jajal :)
Batu sebesar bola baseball berserakan

 Jalur samar2 terlihat
Hamparan savanna
Signboard suaka margasatwa

Jalur pendakian Tambora
Memasuki belukar

Enjoying eyes # gak ada rasa capek

Jarak dari Doro Ncanga ke Dompu 77 km saya tempuh dalam waktu kurang lebih 90 menit. Dan setiba di kota Dompu saya mulai mencari penginapan yang rate nya bersahabat. Akhirnya saya menemukan Hotel Sahab yang terletak di tengah kota, yaitu di Jl.Soekarno-Hatta dengan koordinat S8 32.340 E118 27.749 dan tarif Rp.100.000/malam lengkap dengan fasilitas AC dan tanpa TV. Menjelang magrib.langsung saya check-in di Hotel Sahab.

Lemang dan tape hitam khas Dompu
Segera saya menurunkan barang,mandi dan menunaikan sholat Magrib, karena waktu sudah masuk. Selesai itu saya berjalan kaki saja keluar hotel guna mencari makan malam.Karena hotel ini terletak ditengah kota Dompu, tidak sulit untuk mencari tempat makan disekitar hotel. Pilihan saya tetap : masakan Padang yang sudah pasti pas dengan pencernaan perut.
Tongkol pedas,menu makan malam



Downtown kota Dompu

Hotel Sahab

Malam itu saya dapat beristirahat dengan maksimal karena perjalanan masih lumayan panjang menanti pada keesokan harinya.Tidak lupa saya charge semua peralatan komunikasi agar tidak repot dijalan.

Hari Jum'at tanggal 16 Agustus 2013 pagi, setelah sarapan roti bakar yang disediakan di hotel, saya mempersiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan perjalanan.
Bersiap untuk melanjutkan perjalanan

Tepat pukul 08.30 Scorpy saya pacu ke arah pantai Lakey yang berjarak 40 km keselatan Dompu.Jalan menuju Hu'u sangatlah mulus dengan hotmix yang baru.Mendekati Hu'u jalan berliku menambah indah  trip pagi itu Sekitar sejam kemudian saya mulai memasuki kawasan wisata Hu'u yang terkenal dengan pantai Lakey nya itu.
Memasuki kawasan wisata Hu'u
Pantai Lakey
Saya melanjutkan perjalanan menuju pusat pantai Lakey dengan koordinat S8 48.239 E118 22.987 dimana sering diadakan kejuaraan surfing tingkat dunia.Siang itu ombak masih landai dan jarang turis yang berselancar. Adapun lokasi tempai diselenggarakan nya kejuaraan surfing itu ditandai dengan sebuah semacam menara pengawas , tempat para jury perlombaan itu.
Menara pengawas di pantai Lakey

Penginapan di pantai Lakey di dominasi oleh turis dari Australia dan sangat jarang terlihat turis domestik disini.Tidak terasa, waktu sudah mendekati sholat Jum'at dan saya pun bergegas meninggalkan pantai Lakey guna mencari masjid terdekat. Tidak jauh, saya pun menemukan lokasi masjid Miftahul Jannah dan menunaikan sholat Jumat disana.
Bubaran Jum'atan
Setelah selesai menunaikan Jum'atan saya mencari rumah makan guna mengisi perut. Beruntung saya menemukan rumah makan yang langka di desa Hu'u itu. Dengan menu nasi,ayam goreng tepung dan sayur, nikmat sekali rasanya makan siang saya.
Makan siang di Hu'u
Siang itu cuaca terasa sangat terik dan saya beristirahat dirumah makan seraya menghabiskan dua gelas es teh manis dan sebotol kecil Porcari Sweat guna menghindari serangan dehidrasi. Kemudian, saya melanjutkan perjalanan kembali ke kota Dompu.

Setiba di Dompu saya mulai mengkalkulasi berbagai alternatif trip, apakah akan lanjut ke Bima untuk sekedar sightseeing,atau ke Sape dan lanjut ke Flores atau balik ke Lombok dan mengexplorasi daerah Lombok Timur. Setelah mempertimbangkan berbagai faktor terutama waktu saya putuskan untuk balik ke Lombok dan menghindari overnight dengan stay di hotel.Biasa lah, dompet mulai koyak :) .Saya hitung di GPS, jarak Dompu - Poto Tano adalah 283 km yang mana kalo dijalani secara konstan, akan memakan waktu tujuh jam , artinya kalo saya jalan jam 14.00 dari Dompu maka jam 21.00 saya akan masuk Poto Tano. Namun karena pertimbangan saya harus masuk subuh di pelabuhan Kayangan/Lombok karena di pelabuhan Kayangan tempat rest nya kurang nyaman, maka saya pilih rest di Poto Tano sambil pilih timing nyebrang pukul 03,00 ke Kayangan dan ETA Kayangan subuh jam 05.00. Maka otomatis saya punya banyak waktu dijalan guna beristirahat dan mengambil foto pada spot yang menarik.

Baiklah, jam 14.15 Scorpy saya gas menuju Poto Tano dengan target untuk berhenti2 disepanjang jalan yang ada view  bagus.
Antara Napa - Kwangko
Dekat Kwangko


Kwangko Bay
Kwangko Bay
Pemandangan disekitar desa Kwangko itu memang sangat indah, sehingga sering saya berhenti untuk mengabadikan nya.
Kwangko
Semakin senja hari di desa Kwangko ini dan pada suatu titik saya sengaja berhenti untuk mengabadikan sunset di teluk Kwangko ini,
Memandang laut lepas
Menjelang magrib di Kwangko
Sunset at Kwangko

Sunset
Setelah magrib berlalu, suasana mulai gelap dan tidak lama saya memasuki kota Empang. Saya cari tempat makan dan akhirnya ketemu sebuah rumah makan dan langsung saya pesan nasi goreng special.
Nasi goreng di Ampang


Setelah makan malam segera Scorpy saya pacu ke Poto Tano dengan sisa jarak 98 km dari kota Ampang.Setibanya di kota Sumbawa Besar saya berhenti sejenak untuk mengisi bensin. Perbaikan pada beberapa ruas jalan menjelang Poto Tano memaksa saya untuk extra hati-hati karena banyak ceceran pasir. Sekitar pukul 22.00 saya memasuki area Poto Tano dan langsung parkir di warung kopi untuk ngopi + pop mie.
Ngopi + pop mie di Poto Tano
Setelah selesai ngopi dan makan pop mie saya parkir Scorpy didepan kantor ASDP Poto Tano dan saya masuk kedalam ruang kantor untuk sekedar merebahkan diri dan tidur di emperan tepat disamping ruang Syahbandar. Saya stel alarm di HP jam 2.30 karena saya rencana akan menyeberang pukul 3.00 pagi supaya subuh sudah tiga di Kayangan, Labuan Lombok.

Tepat pukul 02.30 saya tersentak dari tidur oleh lagu "Land of Confusion" nya Genesis dari alarm HP saya.Segera saya berjalan menuju Scorpy dan menuju  antrean ferry yang ternyata pas sudah standby, sehingga saya dapat langsung masuk ke ferry. Diatas ferry saya berjumpa dengan seorang bapak asal Leles/Garut yang hendak pulang ke Leles dari Dompu dengan menumpang bus umum. Beliau ditemani seorang keponakan baru saja selesai berjualan bendera di emperan RSUD Dompu dan telah habis/laku 2000 potong bendera. Mulai berjualan minggu kedua bulan puasa, sehingga sewaktu Lebaran beliau tidak bisa berkumpul dengan keluarga di Leles, karena nunggu habis jualan bendera. Menurut beliau hasil penjualan bendera cukuplah untuk biaya lebaran keluarga di Leles. Pelajaran yang dapat saya petik adalah apabila sedikit kreatif dan ada kemauan yang keras, Insya Allah rejeki ada aja.

Pukul 04.45 saya mendarat di Kayangan - Labuan Lombok dan langsung menuju masjid At Taqwa yang terletak  di depan pasar Labuan Lombok.

Masjid At Taqwa di Labuan Lombok

Setelah agak terang, saya mencari sarapan diseputaran pasar. Ternyata belum ada warung yang buka sehingga saya tidak ada pilihan melainkan jalan kearah Sembalun Lawang. Sekitar 4 km dari Labuan Lombok saya menemukan warung indomie dan sarapan.

Pagi berangsur panas dan Scorpy saya pacu ke arah desa Sembalun yang di dominasi jalan menanjak,sempit dan terjal. Tidak lama saya tiba di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, karena desa Sembalun Lawang adalah salah satu titik pendakian gunung Rinjani yang berada di timur selain Senaru di barat gunung Rinjani.
Gerbang Taman Nasional Gn.Rinjani
Mulai dari gerbang ini jalan semakin menanjak curam dengan tikungan2 sempit dan patah2 sehingga untuk keamanan, tiap kendaraan rajin membunyikan klakson agar tidak terjadi tabrakan di tikungan2 yang patah2 dan sempit itu.

Setelah berjalan sekitar satu jam saya mencapai titik tertinggi menjelang desa Sembalun. Pada titik itu apabila kita melihat kebawah terlihat desa Sembalun Bumbung dan desa Sembalun Lawang diapit oleh kemegahan gunung Rinjani (3726 m), gunung Kanji (2045 m) gunung Propok (2077 m)  gunung Nangi ( 2330 m) dan gunung Sengkor (1490 m). Sungguh sebuah pemandangan yang menakjubkan.
Desa Sembalun yang diapit gunung2
Dari titik ini jalan berubah menjadi menurun tajam sekitar 2 km dan memasuki desa Sembalun Bumbung.Indah nya desa ini,yang di dominasi oleh kebon strawberry dikiri kanan jalan. Tidak lama mata saya tertuju pada sebuah villa yang sangat menarik.
Villa Paer Doe 2
Saya menepi dan langsung disambut oleh pak Lalu Maruhun sang owner yang sangat ramah.Setelah kami berbincang dan mengetahui saya bekerja di perusahaan travel makin antusias beliau untuk meminta saya meninjau kamar villa nya tersebut. Ada tujuh villa di area itu dengan nama Paer Doe 2 dengan rate Rp.250.000/malam dan kira2 500 meter kebawah ada villa Paer Doe 1 yang lebih murah karena bangunan nya rumah biasa saja.
Tampilan luar villa
Tampak depan
Interior villa
Selain konsep villa yang unik, pak Lalu Maruhun selaku owner yang dapat dihubungi langsung apabila ada yang berminat di no. HP 081.917.714.514 atau 081.237.965.580 , beliau juga menawarkan paket trekking ke gunung Rinjani. Setelah bertukar kartu nama, saya pamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju desa Sembalun Lawang yang masih beberapa km kedepan.

Perjalanan saya lanjutkan menuju desa Sembalun Lawang. Sepanjang jalan pemandangan yang indah seakan tak habis2 nya.
Menuju desa Sembalun Lawang
Desa Sembalun
Desa Sembalun Lawang
Tidak lama saya sampai di desa Sembalun Lawang yang agak ramai pagi itu, Rupanya baru bubaran peringatan HUT Kemerdekaan RI di lapangan bola. Dari desa ini gunung Rinjani terlihat menjulang megah.
Gunung Rinjani
Kebun tomat di desa Sembalun
Desa yang indah
Selesai menyusuri kedua desa yaitu desa Sembalun Bumbung dan desa Sembalun Lawang  Scorpy saya arahkan ke kota Labuhan Haji yang berada di pantai timur Lombok.Menuju Labuhan Haji dengan jarak 54 km dari desa Sembalun di dominasi dengan jalan yang terus menurun, karena kota itu terletak di daerah pesisir.

Panas mulai menyengat yang memaksa saya untuk berhenti ber-kali2 sekedar mengumpulkan tenaga. Ditengah jalan yang gersang saya coba untuk mencari rumah makan guna makan siang, namun lagi2 langka. Pada akhirnya sekitar 3 km menjelang kota Labuhan Haji saya ketemu warung soto. Saya langsung pesan soto yang di campur dengan ketupat yang agak aneh rasanya.
Soto ketupat
Labuhan Haji
Di Labuhan Haji tidak ada obyek yang menarik selain tempat makan dipinggir pantai nya. Tidak lama disana saya langsung jalan lagi menuju arah balik ke pelabuhan Lembar dengan jarak 78 km. Pukul 16.45 saya tiba di pelabuhan Lembar, dan setelah membayar tiket penyeberangan,langsung masuk ke antrean ferry.
Antrean ferry di Lembar
Kira-kira sejam kemudian ferry bertolak ke pelabuhan Padang Bai. Ombak cukup normal malam itu sehingga waktu tempuh menjadi kurang lebih 4 jam. Pukul 22.00 ferry merapat di Padang Bai dan segera saya buka gas untuk buru2 pulang. Sekitar pukul 23.00 saya sudah tiba dirumah dengan selamat. Sungguh sebuah perjalanan yang sangat berkesan, walaupun dari segi jarak tidaklah terlalu jauh.
Trip completed
GPS record
Sampai berjumpa dalam kisah perjalanan saya selanjutnya yang mudah2an lebih menarik...

No comments:

Post a Comment